Dalam ilmu pengetahuan sudah lama dikenal archeology of knowledge yang memberi inspirasi bahwa pengetahuan pun ada silsilahnya. Dalam karya indah Fritjof Capra berjudul The Tao of Physics, bisa ditemukan tidak saja jejak-jejak pengetahuan Newton, Einstein, Heisenberg, juga bisa ditemukan sidik-sidik jari Confusius, Buddha, Krishna. Di bagian tertentu temuan Fritjof Capra (doktor fisika kelahiran Austria) tentang atom dan sub atom, bahkan diberi judul The Dancing of Shiva.
Yang menggembirakan, tidak saja di Barat ada sintesis Barat-Timur ala Fritjof Capra, di Timur juga ada sintesis serupa, Yongey Mingyur Rinpoche dalam The Joy of Living, tidak saja fasih berbicara meditasi, namun juga mendalam ketika mengulas fisika, biologi, sampai psikologi kognitif. Bila ia fasih dengan nama-nama seperti Dalai Lama, Karmapa, Tilopa, Marpa, Milarepa bisa dimaklumi karena punya darah Tibet. Tetapi lebih dari itu, Mingyur Rinpoche juga fasih dengan karya-karya Niels Bohr, Albert Einstein sampai ahli biologi Fransisco J. Varela.
Apa yang mau dikemukakan melalui dua contoh ini, di mana-mana telah terjadi proses interaksi yang saling mempengaruhi. Kemudian membentuk wajah pengetahuan yang plural, toleran dan bersahabat. Sufi adalah sebuah tradisi indah di Islam. Tetapi ia memberi inspirasi tidak sedikit manusia yang berkarya di Barat. Jalalludin Rumi telah lama menjadi Albert Einstein-nya dunia Sufi. Paralelisme antara ajaran-ajaran Buddha dengan ajaran-ajaran Yesus Kristus dilakukan oleh banyak sekali penulis. Bali sebagai salah satu koridor global juga membukakan sebuah kecenderungan. Bom teroris memang menyengsarakan, tapi ia tidak cukup kuat untuk menyeret manusia kembali ke sentimen primordial yang lebih menyengsarakan lagi.
Semua ini seperti sedang bercerita ke umat manusia, tidak saja dalam pengetahuan sekat-sekat mulai roboh, dalam spiritualitas pun tembok-tembok pemisah mulai runtuh. Mahatma Gandhi lahir, bertumbuh dan meninggal di keluarga Hindu. Namun, begitu menyangkut perjuangan tanpa kekerasan, ia menjadi acuan banyak sekali orang Islam, Kristen, Katolik dan Buddha. Gandhi telah menjadi Max Weber-nya gerakan anti kekerasan. Nelson Mandela bertumbuh di keluarga Kristiani, namun keteladanannya dalam hal memaafkan masa lalu, menjadi cahaya penerang banyak sekali manusia.
Hujan, sungai, laut
Anak-anak di sekolah dasar, hanya sedikit yang bisa bergelar doktor nantinya. Pejalan kaki ke dalam diri juga sama. Amat sedikit yang bisa sampai di puncak gunung seperti Rumi, Mandela dan Gandhi.
Sebagaimana dicontohkan alam, kebanyakan orang memulai perjalanan seperti hujan. Jalannya kencang, menghujam setiap hal yang ada di bumi. Ini yang bisa menjelaskan kenapa sebagian lebih generasi muda mengisi keseharian (belajar, bekerja) sambil bernyanyi lirik lagu ’maju tak gentar, membela yang bayar’. Semangat, keras, penuh tenaga, itulah tanda-tanda manusia yang baru sampai di sini. Sebagian politisi, akademisi dan pengusaha yang penuh ambisi ada dalam kelompok ini.
Namun air hujan mana pun, begitu menyatu dengan sungai, ia mulai kehilangan sebagian sifat-sifat kerasnya. Aliran air sungai menghadiahkan kelembutan pada air hujan. Kendati di bagian-bagian tertentu air sungai masih keras dan ganas (seperti air terjun atau banjir bandang), di kebanyakan waktu dan tempat air sungai itu lembut. Persis seperti pemandangan sungai yang ditandai oleh barang keras seperti batu serta barang lembut berupa air, demikian juga dengan manusia yang sudah bertumbuh sampai tahap ini. Ada kalanya ia tegas dan keras (seperti tentara yang sedang berperang), ada saatnya ia lembut bak seorang pelayan. Pemimpin agung umumnya meramu ketegasan dan kelembutan dalam campuran yang sempurna. Tatkala menghukum, ia setegas batu. Ketika melayani, ia selembut air.
Hanya persoalan waktu, air sungai akan sampai di laut. Dan di laut seluruh kekerasan dan kelembutan (baca: dualitas) lebur menjadi satu. Pencapaian berjumpa laut seperti inilah yang dialami oleh orang-orang seperti Nelson Mandela, Dalai Lama, Jalalludin Rumi hingga Mahatma Gandhi. Tempat lahir, agama, negara mereka memang berbeda, namun ada yang sama di antara mereka: melakukan semuanya dengan cinta, menerima hasilnya dengan keikhlasan.
Orang tua spiritual
Melihat hanya segelintir manusia yang bisa memasuki wilayah laut, ada kepolosan mau tahu silsilah spiritual manusia-manusia jenis ini. Ia memgingatkan pada cerita tentang anak kampung yang melihat tukang balon terbang. Suatu hari anak dengan uang pas-pasan ini melihat tukang balon terbang berjualan laris sekali. Ketika pembelinya sudah sepi, tukang balon memompa balon warna lain. Dengan polos anak kampung bertanya: ’Bang memangnya warna hitam bisa terbang juga?’. Dengan sabar tukang balon menjawab: ’Nak, bukan warna luar yang membuat balon bisa terbang, tetapi sesuatu yang ada di dalam’.
Dalam bahasa Vivekananda: ‘when the blossoms vanish, the fruits appear’. Tatkala bunganya layu, buahnya muncul. Bila penampilan luar (pujian, kekayaan) sudah mulai kehilangan daya tariknya, maka ada penampilan dari dalam (rasa syukur, rendah hati) yang muncul sebagai pengganti.
Itu sebabnya laut merendah, mensyukuri apa saja yang datang. Hasilnya, laut agung tidak terkira. Ia yang berguru pada laut sedalam ini, sudah menemukan orang tua spiritualnya. Sebagai Ibu, laut adalah simbolik cinta karena apa saja yang datang diolah penuh cinta. Sebagai Ayah, laut adalah wakil keikhlasan sempurna karena menerima apa saja tanpa keserakahan memilih.
Inilah silsilah spiritual manusia-manusia agung, Ibunya cinta, Ayahnya keikhlasan. Dalai Lama pernah berpesan: ‘If you want others to be happy, practice compassion. If you want to be happy, practice compassion’. Mempraktekkan welas asih, itulah rahasia kebahagiaan. Dalam bahasa seorang guru Mahamudra: ‘If one can rest the mind naturally, that’s the supreme meditation’. Saat batin bisa beristirahat secara alami, itulah puncak meditasi. Dan keikhlasan berkontribusi besar dalam membuat batin beristirahat dalam kealamian. Ibarat burung elang yang terbang indah di angkasa, demikian juga kehidupan yang berjumpa orang tua spiritualnya: ikhlas, bebas, lepas. Cinta kemudian membuat semuanya berguna, bermakna.
Yang menggembirakan, tidak saja di Barat ada sintesis Barat-Timur ala Fritjof Capra, di Timur juga ada sintesis serupa, Yongey Mingyur Rinpoche dalam The Joy of Living, tidak saja fasih berbicara meditasi, namun juga mendalam ketika mengulas fisika, biologi, sampai psikologi kognitif. Bila ia fasih dengan nama-nama seperti Dalai Lama, Karmapa, Tilopa, Marpa, Milarepa bisa dimaklumi karena punya darah Tibet. Tetapi lebih dari itu, Mingyur Rinpoche juga fasih dengan karya-karya Niels Bohr, Albert Einstein sampai ahli biologi Fransisco J. Varela.
Apa yang mau dikemukakan melalui dua contoh ini, di mana-mana telah terjadi proses interaksi yang saling mempengaruhi. Kemudian membentuk wajah pengetahuan yang plural, toleran dan bersahabat. Sufi adalah sebuah tradisi indah di Islam. Tetapi ia memberi inspirasi tidak sedikit manusia yang berkarya di Barat. Jalalludin Rumi telah lama menjadi Albert Einstein-nya dunia Sufi. Paralelisme antara ajaran-ajaran Buddha dengan ajaran-ajaran Yesus Kristus dilakukan oleh banyak sekali penulis. Bali sebagai salah satu koridor global juga membukakan sebuah kecenderungan. Bom teroris memang menyengsarakan, tapi ia tidak cukup kuat untuk menyeret manusia kembali ke sentimen primordial yang lebih menyengsarakan lagi.
Semua ini seperti sedang bercerita ke umat manusia, tidak saja dalam pengetahuan sekat-sekat mulai roboh, dalam spiritualitas pun tembok-tembok pemisah mulai runtuh. Mahatma Gandhi lahir, bertumbuh dan meninggal di keluarga Hindu. Namun, begitu menyangkut perjuangan tanpa kekerasan, ia menjadi acuan banyak sekali orang Islam, Kristen, Katolik dan Buddha. Gandhi telah menjadi Max Weber-nya gerakan anti kekerasan. Nelson Mandela bertumbuh di keluarga Kristiani, namun keteladanannya dalam hal memaafkan masa lalu, menjadi cahaya penerang banyak sekali manusia.
Hujan, sungai, laut
Anak-anak di sekolah dasar, hanya sedikit yang bisa bergelar doktor nantinya. Pejalan kaki ke dalam diri juga sama. Amat sedikit yang bisa sampai di puncak gunung seperti Rumi, Mandela dan Gandhi.
Sebagaimana dicontohkan alam, kebanyakan orang memulai perjalanan seperti hujan. Jalannya kencang, menghujam setiap hal yang ada di bumi. Ini yang bisa menjelaskan kenapa sebagian lebih generasi muda mengisi keseharian (belajar, bekerja) sambil bernyanyi lirik lagu ’maju tak gentar, membela yang bayar’. Semangat, keras, penuh tenaga, itulah tanda-tanda manusia yang baru sampai di sini. Sebagian politisi, akademisi dan pengusaha yang penuh ambisi ada dalam kelompok ini.
Namun air hujan mana pun, begitu menyatu dengan sungai, ia mulai kehilangan sebagian sifat-sifat kerasnya. Aliran air sungai menghadiahkan kelembutan pada air hujan. Kendati di bagian-bagian tertentu air sungai masih keras dan ganas (seperti air terjun atau banjir bandang), di kebanyakan waktu dan tempat air sungai itu lembut. Persis seperti pemandangan sungai yang ditandai oleh barang keras seperti batu serta barang lembut berupa air, demikian juga dengan manusia yang sudah bertumbuh sampai tahap ini. Ada kalanya ia tegas dan keras (seperti tentara yang sedang berperang), ada saatnya ia lembut bak seorang pelayan. Pemimpin agung umumnya meramu ketegasan dan kelembutan dalam campuran yang sempurna. Tatkala menghukum, ia setegas batu. Ketika melayani, ia selembut air.
Hanya persoalan waktu, air sungai akan sampai di laut. Dan di laut seluruh kekerasan dan kelembutan (baca: dualitas) lebur menjadi satu. Pencapaian berjumpa laut seperti inilah yang dialami oleh orang-orang seperti Nelson Mandela, Dalai Lama, Jalalludin Rumi hingga Mahatma Gandhi. Tempat lahir, agama, negara mereka memang berbeda, namun ada yang sama di antara mereka: melakukan semuanya dengan cinta, menerima hasilnya dengan keikhlasan.
Orang tua spiritual
Melihat hanya segelintir manusia yang bisa memasuki wilayah laut, ada kepolosan mau tahu silsilah spiritual manusia-manusia jenis ini. Ia memgingatkan pada cerita tentang anak kampung yang melihat tukang balon terbang. Suatu hari anak dengan uang pas-pasan ini melihat tukang balon terbang berjualan laris sekali. Ketika pembelinya sudah sepi, tukang balon memompa balon warna lain. Dengan polos anak kampung bertanya: ’Bang memangnya warna hitam bisa terbang juga?’. Dengan sabar tukang balon menjawab: ’Nak, bukan warna luar yang membuat balon bisa terbang, tetapi sesuatu yang ada di dalam’.
Dalam bahasa Vivekananda: ‘when the blossoms vanish, the fruits appear’. Tatkala bunganya layu, buahnya muncul. Bila penampilan luar (pujian, kekayaan) sudah mulai kehilangan daya tariknya, maka ada penampilan dari dalam (rasa syukur, rendah hati) yang muncul sebagai pengganti.
Itu sebabnya laut merendah, mensyukuri apa saja yang datang. Hasilnya, laut agung tidak terkira. Ia yang berguru pada laut sedalam ini, sudah menemukan orang tua spiritualnya. Sebagai Ibu, laut adalah simbolik cinta karena apa saja yang datang diolah penuh cinta. Sebagai Ayah, laut adalah wakil keikhlasan sempurna karena menerima apa saja tanpa keserakahan memilih.
Inilah silsilah spiritual manusia-manusia agung, Ibunya cinta, Ayahnya keikhlasan. Dalai Lama pernah berpesan: ‘If you want others to be happy, practice compassion. If you want to be happy, practice compassion’. Mempraktekkan welas asih, itulah rahasia kebahagiaan. Dalam bahasa seorang guru Mahamudra: ‘If one can rest the mind naturally, that’s the supreme meditation’. Saat batin bisa beristirahat secara alami, itulah puncak meditasi. Dan keikhlasan berkontribusi besar dalam membuat batin beristirahat dalam kealamian. Ibarat burung elang yang terbang indah di angkasa, demikian juga kehidupan yang berjumpa orang tua spiritualnya: ikhlas, bebas, lepas. Cinta kemudian membuat semuanya berguna, bermakna.